LAPORAN OPT


Laporan Praktikum Lapangan OPT

KABUPATEN ACEH BESAR
DISUSUN OLEH

LIAS HARAPAN
KASMIDA                            
BAMBANG IRAWAN
CUT ZAIRA ARFAH          
HERMA JULENDRI
HERI SAPUTRA


JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2009


DAFTAR ISI


PENDAHULUAN.............................................................................................      
-          Latar Belakang .......................................................................................
-          Perumusan Masalah................................................................................

 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................

METODE PENELITIAN ................................................................................
-     Pelaksanaan percobaan...........................................................................

PEMBAHASAN................................................................................................
                                                                                                                     
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
























BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG PENELITIAN
Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Lebih dari 1500 jenis tumbuhan telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1987).
Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat BPTP dan Ditjenbun, 1994). Hamid dan Nuryani (1992), mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida nabati sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya (Novizan, 2002)
Insektisida nabati memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh insektisida sintetik. Di alam, insektisida nabati memiliki sifat yang tidak stabil sehingga memungkinkan dapat didegradasi secara alami (Arnason et al., 1993).
Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan sasaran ,dewasa ini harga pestisida sintetik relatif mahal. Di sisi lain ketergantungan petani akan penggunaan insektisida cukup tinggi (Metcalf, . 1986).
Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang dapat diker­jakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu sebagai sediaan insektisida (Schumetterer, 1995).
Pada umumnya pengendalian hama yang dilakukan oleh petani sayur maupun buah kebanyakan secara kimiawi dengan menggunakan pestisida. Cara pengendalian hama tersebut seolah-olah sudah membudaya dikalangan masyarakat. Penggunaan insektisida cenderung berlebihan, bersifat preventif, dan dilakukan secara terjadwal. Berdasarkan hasil pengamatan, pemakaian pestisida terbesar dilakukan pada tanaman holtikultura, khususnya tanaman sayuran (Wikipedia, 2007).

B.PERUMUSAN MASALAH
Kendala utama dalam meningkatkan hasil produksi pertanian khususnya sayuran adalah seringnya terjadi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman berupa hama dan penyakit. Hama yang seringkali menyerang tanaman sayuran adalah ulat grayak (Spodoptera litura­­). Hama ini dapat merusak secara fisik dengan cara memakan daun. Bila serangan berat maka hanya tersisa tulang daunnya saja. Untuk menghindari kerugian di atas perlu dilakukan usaha pengendalian untuk menanggulangi masalah tersebut.
Untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan pertanian pemerintah bersama masyarakat harus mampu membuat terobosan-terobosan dengan alternatif yang dapat memberikan jalan keluar dari permasalahan dengan tidak melupakan kepedulian terhadap lingkungan dan mengutamakan keberpihakan kepada petani. Suatu alternatif pengendalian hama penyakit yang murah, praktis dan relatif aman terhadap lingkungan sangat diperlukan oleh negara berkembang seperti Indonesia dengan kondisi petaninya yang memiliki modal terbatas untuk membeli pestisida sintetis. Oleh sebab itu, sudah tiba saatnya untuk memasyarakatkan pestisida nabati yang ramah lingkungan.
Menurut Kardinan (2004), tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan banyak mengandung bahan kimia yang merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme penganggu (OPT). Untuk mendukung meningkatnya produksi tanaman budidaya khususnya sayuran dari serangan hama khususnya ulat grayak (Spodoptera litura) maka diperlukan adanya penelitian mengenai kemanjuran (efesiensi) dari tumbuh-tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam mengendalikan organisme penganggu tanaman (OPT) terutama ulat grayak (Spodoptera litura).
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ulat grayak ( Spodoptera litura )
ulat grayak(Spodoptera litura) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura F

Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago . Pada siang hari ulat grayak tidak tampak, karena umumnya bersembunyi di tempat-tempat yang teduh, di bawah batang dekat leher akar. Pada malam hari ulat grayak akan keluar dan melakukan searangan. Serangga ini merusak pada stadia larva, yaitu memakan daun, sehingga menjadi berlubang-lubang. Biasanya dalam jumlah besar ulat garayak bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis dimakan daunnya ke tanaman lainnya (Pracaya, 1995)
1.      Biologi
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputih-putihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh lima kilometer. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2000-3000 telur.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing berisi 25-500 butir) yang bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman lainnya. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina. Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Siklus hidup berkisar antara 30-60 hari (lama stadium telur 2-4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20-46 hari, pupa : 8-11 hari) (Ardiansyah, 2007).
Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Beberapa hari kemudian tergantung ketersediaan makanan, larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Siang hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang lembab) dan menyerang tanaman pada malam hari. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah, perbedaan hanya pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap memanjang. Umur dua minggu panjang ulat sekitar lima centimeter, (Hera, 2007).
2.      Morfologi
Umumnya larva mempunyai titik hitam arah lateral pada setiap abdomen (Samharinto,1990). Larva muda berwarna kehijau-hijauan. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (1994), instar pertama tubuh larva berwarna hijau kuning, panjang 2,00 sampai 2,74 mm dan tubuh berbulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2-0,3 mm. Instar kedua, tubuh berwarna hijau dengan panjang 3,75-10,00 mm, bulu-bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal terdapat garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua. Larva instar ketiga memiliki panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh. Instar keempat , kelima dan keenam agak sulit dibedakan. Untuk panjang tubuh instar ke empat 13-20 mm, instar kelima 25-35 mm dan instar ke enam 35-50 mm. Mulai instar keempat warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan, hijau kekuningan atau hijau keunguan.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklat-coklatan.Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Imago berupa ngengat dengan warna hitam kecoklatan. Pada sayap depan ditemukan spot-spot berwarna hitam dengan strip-strip putih dan kuning. Sayap belakang biasanya berwarna putih, (Ardiansyah, 2007).
3. Gejala dan Kerusakan Yang Ditimbulkan
Larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas/transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja dan ulat yang besar memakan tulang daun dan buahnya. Gejala serangan pada daun rusak tidak beraturan, bahkan kadang-kadang hama ini juga memakan tunas dan bunga. Pada serangan berat menyebabkan gundulnya daun. Serangan berat umumnya terjadi pada musim kemarau (Wikipedia, 2007).
4. Tanaman Inang
Hama ini bersifat polifag, selain tomat juga menyerang kubis, cabai, buncis, bawang merah, terung, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu, jeruk, pisang, tembakau, kacang-kacangan, tanaman hias, gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., dan Trema sp (Hera,2007).
5. Musuh Alami
Beberapa musuh alami yang menyerang ulat ini yaitu Apenteles sp. Telenomeus sp, Brachymeria sp, Charops longiventris, Chelonus sp, Euplecectrus platyphenae, Microplitis manilae, Nythobia sp, Tachinidae, Podomya setosa dan Harpactor sp (Sudarmo, 1987).
6. Pestisida Nabati
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2007).
Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami / nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang (Rukmana, 1994 ).
Biopestisida baik berupa agen hayati maupun bahan nabati merupakan salah
satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, mudah diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi musuh alami dan serangga penyerbuk.Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar. Biasanya bagian tanaman tersebut mengandung senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal) (Rumah Agrobisnis, 2007).
Aplikasi bahan organik selain dapat meningkatkan efisiensi pemupukan organik, diharapkan juga dapat meningkatkan kualitas tanah sehingga dapat menuju pertanian organik yang sehat. Pertanian sehat adalah sistem pertanian yang dapat mempertahankan keberlanjutan dan produktivitas tanah, menciptakan konservasi dan dapat mengurangi degredasi tanah (Handayanto dan Areisusilaningsih, 2004).
Ekstraksi senyawa yang mengandung pestisida dari dalam tanaman biasanya menggunakan pelarut organik seperti etanol, methanol, aseton, dan triton. Hasil yang diperoleh dngan menggunakan pelarut organik memang sangat tinggi, terutama untuk mengekstrak minyak yang terdapat di dalam biji. Namun, para petani sulit mendapatkan zat pelarut ini dan harganya pun relaif mahal. Sebagai altenatif lain dapat digunakan bubuk detergen dengan konsentrasi satu gram/liter untuk merendam tumbuhan nabati yang sudah diolah sedemikian rupa. Detergen dapat dipakai untuk
mengektraksi biji nimba, biji sirsak, biji buah nona dan bagian tumbuhan lainnya dengan hasil yang cukup memuaskan (Prijono dan Triwidodo, 1994).
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di STPP Saree Kecamatan Lembah Selawah
Kabupaten Aceh Besar NAD, pada hari minggu tanggal 28 juni 2009




































BAB IV

PEMBAHASAN
     Kubis atau kol ( Brassica aleracea ) adalah sayuran penting yang pada umumnya ditanam didaerah dataran tinggi. Namun demikian menjelang 20 tahun terakhir dengan ditemukannya varietas atau kultivar yang dapat ditanam didataran rendah, maka di beberapa daerah dataran rendah juga mulai diusahakan penanaman kubis oleh petani sayuran. Dataran tinggi ataupun dataran rendah bukanlah merupakan masalah penting dalam budidaya kubis, tetapi masalah hama yang dapat merusak, baik didataran tinggi maupun didataran rendah yang tidak memilih jenis varietas yang sering menjadi pembatas dalam budidaya tanaman kubis.
JENIS-JENIS KUBIS
1. Kubis Krop (Brassica oleracea L. var. cagitata L)
Daunnya membentuk krop (telur) dan berwarna putih sehingga sering disebut
kubis telur atau kubis putih.
2. Kubis Kailan (Brassica oleracea L. Var. gennipera D.C)
Daunnya tidak membentuk krop dan berwarna hijau.
3. Kubis Tunas (Brassica oleracea L. var. gennipera D.C)
Tunas samping dapat membentuk krop, sehingga dalam satu tanaman terdapat
beberapa krop kecil.
4. Kubis Bunga (Brassica oleracea L. var. bathytis L)
Jenis ini bakal bunganya mengembang, merupakan telur yang berbentuk kerucut
dan berwarna putih kekuning-kuningan yang bunganya berwarna hijau.


SYARAT TUMBUH
1. Tanaman kubis tumbuh baik pada tanah gembur, mudah menahan air
(sarang) dan tanah tersebut banyak mengandung humus.
2. Menghendaki iklim dengan suhu relatif rendah, kelembaban tinggi dan
tumbuh baik pada ketinggian 1000 - 2000 dpl serta beberapa jenis misalnya
KK Cross, KY Cross cocok untuk dataran rendah.

PENGOLAHAN TANAH
Pencangkulan tanah dilakukan sebanyak 2 kali, pencangkulan pertama sedalam 30
cm, kemudian dibiarkan dahulu untuk mendapat sinar matahari selama 7 - 10 hari.
Baru setelah itu dicangkul untuk kedua kalinya sekaligus diberi pupuk kandang
sebanyak 15 - 20 ton /ha dan dibuatkan bedengan selebar 120 cm, panjang 3 - 5
meter.

PENANAMAN
1. Tanaman kubis diperbanyak dengan biji. Biji harus disemai terlebih dahulu
dengan ditabur dalam barisan dengan jarak 5 cm. Kebutuhan benih 150 - 300
gr/ha.
2. Bibit kubis yang telah berumur 1 bulan dipindahkan ke bedengan dengan
jarak 50 x 60 cm.
PEMELIHARAAN
1. Pemupukan:
Pada waktu berumur 2 dan 4 minggu setelah tanam diberikan pupuk buatan
urea 225 kg/ha, DS 500 kg/ha dan ZK 170 kg/ha.
2. Gulma:
Penyiangan dilakukan dengan mencabut rumput-rumput atau dengan
menggunakan herbisida.
3. H a m a:
Hama ulat kubis (Plutella maculipennis), dikendalikan dengan Diazinon atau
Bayrusil 1-2 cc/1 air dengan frekwensi penyemprotan 1 minggu. Sedangkan
ulat kubis (Crocidolonia binotalis) dikendalikan dengan Bayrusil 13 cc/1 air.
4. Penyakit:
Penyakit busuk akar yang disebabkan Rhizoktonia sp dapat dikendalikan
dengan bubur Bordeaux atau fungisida yang dianjurkan.
Sedangkan penyakit penting lainnya adalah busuk hitam (Xanthomonas campestris)
dan busuk lunak bakteri Erwinia carotovora dan penyakit pekung Phomalincran,
penyakit kaki gajah (Plasmodiophora brassicae) belum dapat diatasi. Bila ada tanaman yang terserang segera dicabut lalu dibakar.

ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN KUBIS
1. HAMA UTAMA PADA KUBIS
·         Ulat Plutella (Plutella xylostella L.)
Dikenal dengan nama ulat tritip, Diamond-black moth, hileud keremeng, ama bodas, ama karancang (Sunda), omo kapes, kupu klawu (Jawa). Ciri: (1) siklus hidup 2-3 minggu tergantung temperatur udara; (2) ngengat betina panjang 1,25 cm berwarna kelabu, mempunyai tiga buah titik kuning pada sayap depan, meletakkan telur dibagian bawah permukaan daun sebanyak 50 butir dalam waktu 24 jam; (3) telurnya berbentuk oval, ukuran 0,6-0,3 mm, berwarna hijau kekuningan, berkilau, lembek dan menetas ± 3 hari; (4) larva Plutella berwarna hijau, panjang 8 mm, lebar 1 mm, mengalami 4 instar yang berlangsung selama 12 hari, ngengat kecil berwarna coklat keabu-abuan; (5) ngengat aktif dimalam hari, sedangkan siang hari bersembunyi dibawah dibawah sisa-sisa tanaman, atau hinggap dibawah permukaan daun bawah. Gejala: (1) biasanya menyerang pada musim kemarau; (2) daun berlubang-lubang terdapat bercak-bercak putih seperti jendela yang menerawang dan tinggal urat-urat daunnya saja; (3) umumnya menyerang tanaman muda, tetapi kadang-kadang merusak tanaman yang sedang membentuk bunga. Pengendalian: (1) mekanis: mengumpulkan ulat-ulat dan telurnya, kemudian dihancurkan. (2) Kultur teknik: pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman yang bukan famili Cruciferae; pola tumpang sari brocolli dengan tomat, bawang daun, dan jagung; dengan tanaman perangkap (trap crop) seperti Rape/Brassica campestris ssp. Oleifera Metg. (3) Hayati/biologi: menggunakan musuh alami, yaitu parasitoid (Cotesia plutella Kurdj, Diadegma semiclausum, Diadegma eucerophaga) ataupun predatornya. (4) Sex pheromone : adalah "Ugratas Ungu" dari Taiwan. Bentuk sex pheromone ini seperti benang nilon berwarna ungu sepanjang ± 8 cm. Cara penggunaan : Ugratas ungu dimasukkan botol bekas agua, kemudian dipasang dilahan perkebunan pada posisi lebih tinggi dari tanaman. Daya tahan ugratas terpasang ±3 minggu, dan tiap hektar kebun memerlukan 5-10 buah perangkap.(5) Kimiawi: menyemprotkan insektisida selektif berbahan aktif Baccilus thuringiensis seperti Dipel WP, Bactospeine WP, Florbac FC atau Thuricide HP pada konsentrasi 0,1-0,2%, Agrimec 18 FC, pada konsentrasi 1-2 cc/liter.
·         Ulat croci (Crocidolomia binotalis Zeller)
Ulat croci disebut hileud bocok (sunda). Ciri: (1) siklus hidup 22-32 hari, tergantung suhu udara; (2) ulat berwarna hijau, pada punggung terdapat garis hijau muda dan perut kuning, panjang ulat 18 mm, berkepompong di dalam tanah dan telur diletakkan dibawah daun secara berkelompok berbentuk pipih menyerupai genteng rumah; (3) menyerang tanaman yang sedang membentuk bunga. Pengendalian: sama dengan ulat Prutella, parasitoid yang paling cocok adalah Inareolata sp.
·         Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn)
Ulat tanah disebut ulat taneuh, hileud orok (Sunda) atau uler lettung (Jawa).
Ciri: (1) siklus hidup 6-8 minggu; (2) kupu-kupu ataupun ulatnya aktif pada senja dan malam hari, pada siang hari bersembunyi di bawah daun (kupu-kupu) dan permukaan tanah (ulat). Gejala: memotong titik tumbuh atau pangkal batang tanaman, sehingga tanaman muda rebah dan pada siang hari tampak layu. Pengendalian: (1) mekanis: mencabut ulat-ulat tanah dan membunuhnya; (2) kultur teknis: pembersihan kebun dari rerumputan atau sisa-sisa tanaman yang dijadikan tempat bertelur hama tanah; (3) kimiawi: dengan umpan beracun dan semprotan insektisida.Campuran dari 125-250 gram Dipertex 95 SL, 10 kg dedak, 0,5-1,0 kg gula merah dan 10 liter air untuk tanaman seluas 0,25-0,5 hektar. Umpan tersebut disebarkan disekeliling tanaman pada senja dan malam hari. dapat juga disemprotkan insektisida Dursban 20 EC 1 cc/liter air. Waktu penyemprotan sehabis tanam dan dapat diulang 1-2 kali seminggu.
·         Kutu daun (Aphis brassicae)
Hidup berkelompok dibawah daun atau massa bunga (curd), berwarna hijau diliputi semacam tepung berlilin. Gejala: menyerang tanaman dengan menghisap cairan selnya, sehingga menyebabkan daun menguning dan massa bunga berbintik-bintik tampak kotor. Menyerang hebat dimusim kemarau. Pengendalian: menyemprotkan insektisida ORTHENE 75 SP atau Hostathion 40 EC 1-2 cc/liter air.
·         Ulat daun
Misalnya ulat jengkal (Trichoplusiana sp., Chrysodeixis chalcites Esp., Chrysodeixis orichalcea L.) dan ulat grayuk (Spodoptera sp. S. litura), Ciri: (1) Ulat-ulat jengkal (Trichoplusiana sp.): Cara berjalannya aneh dan melipat dua bila merangkak. Panjang 4 cm, berwarna hijau pucat dan berpita warna muda pada tiap sisi badan. Kupu-kupu ulat jengkal berwarna coklat keabu-abuan dan berbintik-bintik berwarna perak pada setiap sayap depannya, telur berwarna putih kehijau-hijauan diletakkan di bawah daun dan menetas dalam 3-20 hari. (2) Chrysodzeixis chalcites Esp. dan Chrysodeixis orichalcea L.: Berwarna gelap dan terdapat bintik-bintik keemasan berbentuk "Y" pada sayap depan. Telur berukuran kecil berwarna keputih-putihan, diletakkan secara tunggal ataupun berkelompok. Larva berwarna hijau bergaris-garis putih di sisinya dan jalannya menjengkal. (3) Ulat-ulat grayak (S. litura): Ciri khas memiliki bintik-bintik segitiga berwarna hitam dan bergaris kekuning-kuningan pada sisinya dengan siklus hidup 30-61 hari. Kupu-kupunya berwarna agak gelap dengan garis agak putih pada sayap depan. Telurnya berjumlah 25-500 butir diletakkan secara berkelompok di atas tanaman dan ditutup dengan bulu-bulu. Gejala: daun rusak, berlubang-lubang atau kadang kala tinggal urat-urat daunnya saja. Pengendalian: (1) mengatur pola tanam; (2) menjaga kebersihan kebun; (3) penyemprotan insektisida seperti Orthene 75 SP 1 cc/liter air, Hostathion 1-2 cc/liter air, Curacron 500 EC atau Decis 2,5 EC; (4) khusus untuk ulat grayak dapat digunakan sex pheromena (Ugratas Merah); (5) bila terjadi serangan Spodoptera exiqua dapat digunakan Ugratas Biru.
·         Bangsa siput
Bangsa siput yang biasa menyerang antara lain: (1) Achtina fulica Fer., yaitu siput yang mempunyai cangkang atau rumah, dikenal dengan bekicot; (2) Vaginula bleekeri Keferst, yaitu siput yang tidak bercangkang, warna keabu-abuan; (3) Parmarion pupilaris Humb, yaitu siput yang tidak bercangkang berwarna coklat kekuningan. Gejala: menyerang daun terutama saat baru ditanam dikebun. Pengendalian: dengan menyemprotkan racun Helisida atau dengan dikumpulkan lalu dihancurkan dengan garam atau untuk makanan ternak.
·         Cengkerik dan gangsir (Gryllus mitratus dan Brachytrypes portentosus).
Gejala: menyerang daun muda (memotong) pada malam hari; terdapat banyak lubang di dalam tanah. Pengendalian: dengan insektisida atau menangkap dengan menyirami lubang dengan air agar hama keluar.

·         Orong-orong.
Hidup dalam tanah terutama yang lembab dan basah. Bagian yang diserang adalah sistem perakaran tanaman. Gejala: pertumbuhan terhambat dan daun menguning. Pengendalian: pemberian insektisida ke liang.
2.      PENYAKIT UTAMA PADA KUBIS
·         Busuk hitam (Xanthomonas campestris Dows.)
Penyebab: bakteri, dan merupakan patogen tular benih (seed borne), dan dapat dengan mudah menular ketanah atau ke tanaman sehat lainnya. Gejala: (1) tanaman semai rebah (damping off), karena infeksi awal terjadi pada kotiledon, kemudian menjalar keseluruh tanaman secara sistematik; (2) bercak coklat kehitam-hitaman pada daun, batang, tangkai, bunga maupun massa bunga yang diserang; (3) gejala khas daun kuning kecoklat-coklatan berbentuk huruf "V", lalu mengering. Batang atau massa bunga yang terserang menjadi busuk berwarna hitam atau coklat, sehingga kurang layak dipanen. Pengendalian: (1) memberikan perlakuan pada benih seperti telah dijelaskan pada poin pembibitan sub poin penyiapan benih; (2) pembersihan kebun dari tanaman inang alternatif; (3) rotasi tanaman selama ± 3 tahun dengan tanaman tidak sefamili.
·         Busuk lunak (Erwinia carotovora Holland.)
Penyebab: bakteri yang mengakibatkan busuk lunak pada tanaman sewaktu masih di kebun hingga pasca panen dan dalam penyimpanan. Gejala: (1) luka pada pangkal bunga yang hampir siap panen; (2) luka akar tanaman scara mekanis, serangga atau organisme lain; (3) luka saat panen; (4) penanganan atau pengepakan yang kurang baik. Pengendalian: (1) Pra panen: membersihkan sisa-sisa tanaman pada lahan yang akan ditanami; menghindari kerusakan tanaman oleh serangga pengerek atau sewaktu pemeliharaan tanaman; menghindari bertanam kubis-kubisan pada musim hujan di daerah basis penyakit busuk lunak. (2) Pasca panen: menghindari luka mekanis atau gigitan serangga menjelang panen; menyimpan hasil panen dalam keadaan kering, atau kalau dicuci dengan air bersih, harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum disimpan; berhati-hati dalam membawa atau mengangkut hasil panen ketempat penyimpanan untuk mencegah luka atau memar; menyimpan hasil ditempat sejuk dan mempunyai sirkulasi udara baik.
·         Akar bengkak atau akar pekuk (Plasmodiophora brassicae Wor.)
Penyebab: cendawan Plasmodiophora brassicae. Gejala: (1) pada siang hari atau cuaca panas, tanaman tampak, tetapi pada malam atau pagi hari daun tampak segar kembali; (2) pertumbuhan terlambat, tanaman kerdil dan tidak mampu membentuk bunga bahkan dapat mati; (3) akar bengkak dan terjadi bercak-bercak hitam. Pengendalian: (1) memberi perlakuan pada benih seperti poin penyiapan benih; (2) menyemai benih di tempat yang bebas wabah penyakit; (3) melakukan sterilisasi media semai ataupun tanah kebun dengan Besamid-G 40-60 gram/m2 untuk arel pembibitan atau 60 gram/m2untuk kebun; (4) melakukan pengapuran untuk menaikkan pH; (5) mencabut tanaman yang terserang penyakit; (6) pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis yang tidak sefamili
·         Bercak hitam (Alternaria sp.)
Penyebab: cendawan Alternaria brassica dan Alternaria brassicicola. Gejala: (1) bercak-bercak berwarna coklat muda atau tua bergaris konsentris pada daun; (2) menyerang akar, pangkal batang, batang maupun bagian lain. Pengendalian: (1) menanam benih yang sehat; (2) perlakuan benih seperti pada poin penyiapan benih.
·         Busuk lunak berair
Penyebab: cendawan Sclerotinia scelerotiorumI, menyerang batang dan daun terutama pada luka-luka tanaman akibat kerusakan mekanis dan dapat menyebar melalui biji dan spora. Gejala: (1) pertumbuhan terhambat, membusuk lalu mati; (2) bila menyerang batang, maka daun akan menguning, layu dan rontok; (3) bila menyerang daun, maka daun akan membusuk dan berlendir; (4) gejala lain terdapat rumbai-rumbai cendawan yang berwarna putih dan lama-kelamaan menjadi hitam. Pengendalian: (1) gunakan biji sehat dan rotasi tanaman dengan tanaman yang tidak sejenis. (2) pemberantasan dengan insektisida.
·         Semai roboh (dumping off)
Penyebab: cendawan Rhizitonia sp. dan Phytium sp. Gejala: (1) bercak-bercak kebasahan pada pangkal batang atau hipokotil; (2) pangkal batang busuk sehingga menyebabkan batang rebah dan mudah putus; (3) menyerang tanaman di semaian, tetapi dapat pula menyerang tanaman di lahan. Pengendalian: perlakuan benih sebelum ditanam, sterilisasi media semaian dan rotasi tanaman dengan jenis selain kubis-kubisan.
·         Penyakit Fisiologis
Penyebab: Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) disebut penyakit fisiologis. Kekurangan Nitrogen: bunga kecil-kecil seperti kancing atau disebut "Botoning". Kelebihan Nitrogen warna bunga kelabu dan berukuran kecil. Kekurangan Kalium massa bunga tidak kompak (kurang padat) dan ukurannya mengecil. Kelebihan Kalium tumbuh kerdil dan bunganya kecil. Pengendalian: dengan pemupukan yang berimbang.
TEKNIK-TEKNIK PENGENDALIAN PADA TANAMAN KUBIS
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Kegiatan pengendalian hama dan penyakit merupakan faktor terpenting dalam budidaya kubis ramah lingkungan. Hal ini disebabkan tujuan kegiatan ini adalah menghemat penggunaan pestisida dengan bertumpu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Adapun cara pengendalian beberapa hama dan penyakit kubis dengan konsep PHT dapat dilakukan sebagai berikut :
Untuk pengendalian hama ulat krop kubis yang disebabkan (Crocidolomia binotalis Zell)  dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan (memusnahkan) telur, larva atau imago yang ditemukan.  Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan bila ditemukan 3 paket telur pada 10 tanaman dan 5 % tanaman terserang hama tersebut.  Pengendalian kimia cara tersebut dapat menghemat/menekan penggunaan pestisida 7 – 11 kali penyemprotan.  Pemilihan bahan aktif insektisida dilakukan dengan selektif dan yang efektif  diantaranya Bacillus thuringiensis (Turex, Thuricide), sipermetrin (Cymbush), Klorfluazuron (Atabron), lufenuron (Match), Lamda sihalotrin (Matador), Protiofos (Tokuthion) dan lain-lain.  Selain itu dapat juga digunakan pestisida nabati atau biologi dengan dosis anjuran adalah : Bacillus thurigiensis, biji sirsak atau dengan menggunakan biji nimba 30 gr/liter.  
Untuk pengendalian hama ulat kubis Plutella xytostella dapat dilakukan dengan cara  mekanis dan kimia.  Cara mekanis yaitu dengan memusnahkan dan mengumpulkan semua larva imago yang ditemukan, sedangkan cara kimiawi dilakukan dengan penggunaan pestisida selektif bila ditemukan 5 larva setiap 10 tanaman dan 5% dari jumlah tanaman telah terserang hama tersebut.  Dengan melakukan pengamatan, maka akan menghemat penggunaan pestisida 7 – 11 kali penyemprotan dengan dosis 0,5 – 1cc/liter tiap penyemprotan.
Pengendalian penyakit bengkak akar yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae yang ditandai daun-daun kubis layu, bila tanaman tersebut dicabut pada akarnya akan terlihat ada pembengkakkan. Untuk mengendalikannya dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : (1) penggunaan varietas tahan P. brassicae seperti 72754, G6-voloqod shajas, Zimjaja dan Winter., (2) perlakuan benih dengan pestisida nabati berupa ekstrak daun/umbi bawang putih (8%) selama 2 jam, (3) tanah untuk persemaian menggunakan tanah dari luar daerah endemis atau tanah lapisan bawah (min. 40 cm) yang dikukus atau diberi fungisida, (4) melakukan pengapuran dengan dolomit 2 ton/hektar dilakukan 15 hari sebelum tanam, (5) tanah diinokulasi dengan Gliogladium (Bio GL) dosis 11 cc/liter atau Glio kompos 1 kg/4 meter2 sehari sebelum tanam atau Dazomet 30-40 gram/m2 (200-267 gram/ha) 2 minggu sebelum tanam, (6) mencabut tanaman muda yang terserang dan memusnahkannya kemudian (7) memusnahkan segera sisa panen . 
Pengendalian penyakit bercak daun Altenaria dapat dilakukan dengan merendam benih dalam air panas (50oC) selama 15 menit, penggunaan jarak tanam yang agak lebar agar sirkulasi tanaman tidak terganggu, dan terakhir adalah penggunaan fungisida bila tanaman belum membentuk krop dan serangan lebih dari 10%. Dalam pengendalian hama dan penyakit kubis dengan pestisida harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) melakukan penyemprotan setelah ambang kendali untuk masing-masing hama atau penyakit terlewati, (2) pemilihan pestisida yang tepat dan efektif, (3) tidak menggunakan oplosan dari beberapa  bahan aktif pestisida yang berbeda, (4) Melakukan penyemprotan secara bergantian agar hama dan penyakit tidak kebal, (5) tidak mengurangi atau menambah takaran dari dosis yang dianjurkan, (6) waktu dan frekwensi penyemprotan dilakukan secara tepat dimana waktu penyemprotan sebaiknya pagi sekali atau sore dengan frekwensi tidak dirapatkan karena dapat meninggalkan residu pada hasil panen dan hama penyakit menjadi kebal.
PENGENDALIAN GULMA
Pengendalian gulma kubis dapat dilakukan saat tanaman mulai ditumbuhi gulma. Gulma yang ada dicabut sampai akarnya. Pada tanah yang jumlah gulmanya banyak dapat dilakukan dengan pemberian herbisida sebelum tanam. Adapun herbisida yang dapat digunakan antara lain yang berbahan aktif glifosat, parakuat diklorida, oksifluorfen dan lain-lain.











BAB V

KESIMPULAN


 Kubis atau kol ( Brassica aleracea ) adalah sayuran penting yang pada umumnya ditanam didaerah dataran tinggi. Tetapi dapat juga tumbuh di dataran rendah tapi pada umumnya banyak yang diserang hama, penyakit dan gulma.

Kegiatan pengendalian hama dan penyakit merupakan faktor terpenting dalam budidaya kubis yang ramah lingkungan.

Pengendalian gulma kubis dapat dilakukan saat tanaman mulai ditumbuhi gulma. Gulma yang ada dicabut sampai akarnya. Pada tanah yang jumlah gulmanya banyak dapat dilakukan dengan pemberian herbisida sebelum tanam.


































BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suyanto, 1994. Hama sayur dan buah. Seri PHT. Penebar Swadaya Purwokerto.
Semeru Ashari, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.
Untung. K, 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Litbang, 1986.Ringkasan bercocok tanam, tanaman perkebunan dan industri,
buah-buahan dan sayuran.BIPP Timor-Timur.

Nonime.2007.hama pada tanaman kubis.http://one.indoskripsi.com/click/3090/0
Nonime.2002.pengendalian hama, penyakit dan gulma pada tanmann

  Praktikum Lapangan OPT
PENGAMATAN O P T PADA TANAMAN KUBIS
DI SAREE KECAMATAN
LEMBAH SELAWAH
KABUPATEN ACEH BESAR
DISUSUN OLEH

LIAS HARAPAN
KASMIDA                            
BAMBANG IRAWAN
CUT ZAIRA ARFAH          
HERMA JULENDRI
HERI SAPUTRA


JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2009


DAFTAR ISI


PENDAHULUAN.............................................................................................      
-          Latar Belakang .......................................................................................
-          Perumusan Masalah................................................................................

 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................

METODE PENELITIAN ................................................................................
-     Pelaksanaan percobaan...........................................................................

PEMBAHASAN................................................................................................
                                                                                                                     
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
























BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG PENELITIAN
Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Lebih dari 1500 jenis tumbuhan telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1987).
Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat BPTP dan Ditjenbun, 1994). Hamid dan Nuryani (1992), mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida nabati sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya (Novizan, 2002)
Insektisida nabati memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh insektisida sintetik. Di alam, insektisida nabati memiliki sifat yang tidak stabil sehingga memungkinkan dapat didegradasi secara alami (Arnason et al., 1993).
Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan sasaran ,dewasa ini harga pestisida sintetik relatif mahal. Di sisi lain ketergantungan petani akan penggunaan insektisida cukup tinggi (Metcalf, . 1986).
Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang dapat diker­jakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu sebagai sediaan insektisida (Schumetterer, 1995).
Pada umumnya pengendalian hama yang dilakukan oleh petani sayur maupun buah kebanyakan secara kimiawi dengan menggunakan pestisida. Cara pengendalian hama tersebut seolah-olah sudah membudaya dikalangan masyarakat. Penggunaan insektisida cenderung berlebihan, bersifat preventif, dan dilakukan secara terjadwal. Berdasarkan hasil pengamatan, pemakaian pestisida terbesar dilakukan pada tanaman holtikultura, khususnya tanaman sayuran (Wikipedia, 2007).

B.PERUMUSAN MASALAH
Kendala utama dalam meningkatkan hasil produksi pertanian khususnya sayuran adalah seringnya terjadi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman berupa hama dan penyakit. Hama yang seringkali menyerang tanaman sayuran adalah ulat grayak (Spodoptera litura­­). Hama ini dapat merusak secara fisik dengan cara memakan daun. Bila serangan berat maka hanya tersisa tulang daunnya saja. Untuk menghindari kerugian di atas perlu dilakukan usaha pengendalian untuk menanggulangi masalah tersebut.
Untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan pertanian pemerintah bersama masyarakat harus mampu membuat terobosan-terobosan dengan alternatif yang dapat memberikan jalan keluar dari permasalahan dengan tidak melupakan kepedulian terhadap lingkungan dan mengutamakan keberpihakan kepada petani. Suatu alternatif pengendalian hama penyakit yang murah, praktis dan relatif aman terhadap lingkungan sangat diperlukan oleh negara berkembang seperti Indonesia dengan kondisi petaninya yang memiliki modal terbatas untuk membeli pestisida sintetis. Oleh sebab itu, sudah tiba saatnya untuk memasyarakatkan pestisida nabati yang ramah lingkungan.
Menurut Kardinan (2004), tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan banyak mengandung bahan kimia yang merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme penganggu (OPT). Untuk mendukung meningkatnya produksi tanaman budidaya khususnya sayuran dari serangan hama khususnya ulat grayak (Spodoptera litura) maka diperlukan adanya penelitian mengenai kemanjuran (efesiensi) dari tumbuh-tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam mengendalikan organisme penganggu tanaman (OPT) terutama ulat grayak (Spodoptera litura).
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ulat grayak ( Spodoptera litura )
ulat grayak(Spodoptera litura) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura F

Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago . Pada siang hari ulat grayak tidak tampak, karena umumnya bersembunyi di tempat-tempat yang teduh, di bawah batang dekat leher akar. Pada malam hari ulat grayak akan keluar dan melakukan searangan. Serangga ini merusak pada stadia larva, yaitu memakan daun, sehingga menjadi berlubang-lubang. Biasanya dalam jumlah besar ulat garayak bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis dimakan daunnya ke tanaman lainnya (Pracaya, 1995)
1.      Biologi
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputih-putihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh lima kilometer. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2000-3000 telur.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing berisi 25-500 butir) yang bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman lainnya. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina. Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Siklus hidup berkisar antara 30-60 hari (lama stadium telur 2-4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20-46 hari, pupa : 8-11 hari) (Ardiansyah, 2007).
Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Beberapa hari kemudian tergantung ketersediaan makanan, larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Siang hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang lembab) dan menyerang tanaman pada malam hari. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah, perbedaan hanya pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap memanjang. Umur dua minggu panjang ulat sekitar lima centimeter, (Hera, 2007).
2.      Morfologi
Umumnya larva mempunyai titik hitam arah lateral pada setiap abdomen (Samharinto,1990). Larva muda berwarna kehijau-hijauan. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (1994), instar pertama tubuh larva berwarna hijau kuning, panjang 2,00 sampai 2,74 mm dan tubuh berbulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2-0,3 mm. Instar kedua, tubuh berwarna hijau dengan panjang 3,75-10,00 mm, bulu-bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal terdapat garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua. Larva instar ketiga memiliki panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh. Instar keempat , kelima dan keenam agak sulit dibedakan. Untuk panjang tubuh instar ke empat 13-20 mm, instar kelima 25-35 mm dan instar ke enam 35-50 mm. Mulai instar keempat warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan, hijau kekuningan atau hijau keunguan.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklat-coklatan.Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Imago berupa ngengat dengan warna hitam kecoklatan. Pada sayap depan ditemukan spot-spot berwarna hitam dengan strip-strip putih dan kuning. Sayap belakang biasanya berwarna putih, (Ardiansyah, 2007).
3. Gejala dan Kerusakan Yang Ditimbulkan
Larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas/transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja dan ulat yang besar memakan tulang daun dan buahnya. Gejala serangan pada daun rusak tidak beraturan, bahkan kadang-kadang hama ini juga memakan tunas dan bunga. Pada serangan berat menyebabkan gundulnya daun. Serangan berat umumnya terjadi pada musim kemarau (Wikipedia, 2007).
4. Tanaman Inang
Hama ini bersifat polifag, selain tomat juga menyerang kubis, cabai, buncis, bawang merah, terung, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu, jeruk, pisang, tembakau, kacang-kacangan, tanaman hias, gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., dan Trema sp (Hera,2007).
5. Musuh Alami
Beberapa musuh alami yang menyerang ulat ini yaitu Apenteles sp. Telenomeus sp, Brachymeria sp, Charops longiventris, Chelonus sp, Euplecectrus platyphenae, Microplitis manilae, Nythobia sp, Tachinidae, Podomya setosa dan Harpactor sp (Sudarmo, 1987).
6. Pestisida Nabati
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2007).
Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami / nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang (Rukmana, 1994 ).
Biopestisida baik berupa agen hayati maupun bahan nabati merupakan salah
satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, mudah diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi musuh alami dan serangga penyerbuk.Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar. Biasanya bagian tanaman tersebut mengandung senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal) (Rumah Agrobisnis, 2007).
Aplikasi bahan organik selain dapat meningkatkan efisiensi pemupukan organik, diharapkan juga dapat meningkatkan kualitas tanah sehingga dapat menuju pertanian organik yang sehat. Pertanian sehat adalah sistem pertanian yang dapat mempertahankan keberlanjutan dan produktivitas tanah, menciptakan konservasi dan dapat mengurangi degredasi tanah (Handayanto dan Areisusilaningsih, 2004).
Ekstraksi senyawa yang mengandung pestisida dari dalam tanaman biasanya menggunakan pelarut organik seperti etanol, methanol, aseton, dan triton. Hasil yang diperoleh dngan menggunakan pelarut organik memang sangat tinggi, terutama untuk mengekstrak minyak yang terdapat di dalam biji. Namun, para petani sulit mendapatkan zat pelarut ini dan harganya pun relaif mahal. Sebagai altenatif lain dapat digunakan bubuk detergen dengan konsentrasi satu gram/liter untuk merendam tumbuhan nabati yang sudah diolah sedemikian rupa. Detergen dapat dipakai untuk
mengektraksi biji nimba, biji sirsak, biji buah nona dan bagian tumbuhan lainnya dengan hasil yang cukup memuaskan (Prijono dan Triwidodo, 1994).
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di STPP Saree Kecamatan Lembah Selawah
Kabupaten Aceh Besar NAD, pada hari minggu tanggal 28 juni 2009




































BAB IV

PEMBAHASAN
     Kubis atau kol ( Brassica aleracea ) adalah sayuran penting yang pada umumnya ditanam didaerah dataran tinggi. Namun demikian menjelang 20 tahun terakhir dengan ditemukannya varietas atau kultivar yang dapat ditanam didataran rendah, maka di beberapa daerah dataran rendah juga mulai diusahakan penanaman kubis oleh petani sayuran. Dataran tinggi ataupun dataran rendah bukanlah merupakan masalah penting dalam budidaya kubis, tetapi masalah hama yang dapat merusak, baik didataran tinggi maupun didataran rendah yang tidak memilih jenis varietas yang sering menjadi pembatas dalam budidaya tanaman kubis.
JENIS-JENIS KUBIS
1. Kubis Krop (Brassica oleracea L. var. cagitata L)
Daunnya membentuk krop (telur) dan berwarna putih sehingga sering disebut
kubis telur atau kubis putih.
2. Kubis Kailan (Brassica oleracea L. Var. gennipera D.C)
Daunnya tidak membentuk krop dan berwarna hijau.
3. Kubis Tunas (Brassica oleracea L. var. gennipera D.C)
Tunas samping dapat membentuk krop, sehingga dalam satu tanaman terdapat
beberapa krop kecil.
4. Kubis Bunga (Brassica oleracea L. var. bathytis L)
Jenis ini bakal bunganya mengembang, merupakan telur yang berbentuk kerucut
dan berwarna putih kekuning-kuningan yang bunganya berwarna hijau.


SYARAT TUMBUH
1. Tanaman kubis tumbuh baik pada tanah gembur, mudah menahan air
(sarang) dan tanah tersebut banyak mengandung humus.
2. Menghendaki iklim dengan suhu relatif rendah, kelembaban tinggi dan
tumbuh baik pada ketinggian 1000 - 2000 dpl serta beberapa jenis misalnya
KK Cross, KY Cross cocok untuk dataran rendah.

PENGOLAHAN TANAH
Pencangkulan tanah dilakukan sebanyak 2 kali, pencangkulan pertama sedalam 30
cm, kemudian dibiarkan dahulu untuk mendapat sinar matahari selama 7 - 10 hari.
Baru setelah itu dicangkul untuk kedua kalinya sekaligus diberi pupuk kandang
sebanyak 15 - 20 ton /ha dan dibuatkan bedengan selebar 120 cm, panjang 3 - 5
meter.

PENANAMAN
1. Tanaman kubis diperbanyak dengan biji. Biji harus disemai terlebih dahulu
dengan ditabur dalam barisan dengan jarak 5 cm. Kebutuhan benih 150 - 300
gr/ha.
2. Bibit kubis yang telah berumur 1 bulan dipindahkan ke bedengan dengan
jarak 50 x 60 cm.
PEMELIHARAAN
1. Pemupukan:
Pada waktu berumur 2 dan 4 minggu setelah tanam diberikan pupuk buatan
urea 225 kg/ha, DS 500 kg/ha dan ZK 170 kg/ha.
2. Gulma:
Penyiangan dilakukan dengan mencabut rumput-rumput atau dengan
menggunakan herbisida.
3. H a m a:
Hama ulat kubis (Plutella maculipennis), dikendalikan dengan Diazinon atau
Bayrusil 1-2 cc/1 air dengan frekwensi penyemprotan 1 minggu. Sedangkan
ulat kubis (Crocidolonia binotalis) dikendalikan dengan Bayrusil 13 cc/1 air.
4. Penyakit:
Penyakit busuk akar yang disebabkan Rhizoktonia sp dapat dikendalikan
dengan bubur Bordeaux atau fungisida yang dianjurkan.
Sedangkan penyakit penting lainnya adalah busuk hitam (Xanthomonas campestris)
dan busuk lunak bakteri Erwinia carotovora dan penyakit pekung Phomalincran,
penyakit kaki gajah (Plasmodiophora brassicae) belum dapat diatasi. Bila ada tanaman yang terserang segera dicabut lalu dibakar.

ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN KUBIS
1. HAMA UTAMA PADA KUBIS
·         Ulat Plutella (Plutella xylostella L.)
Dikenal dengan nama ulat tritip, Diamond-black moth, hileud keremeng, ama bodas, ama karancang (Sunda), omo kapes, kupu klawu (Jawa). Ciri: (1) siklus hidup 2-3 minggu tergantung temperatur udara; (2) ngengat betina panjang 1,25 cm berwarna kelabu, mempunyai tiga buah titik kuning pada sayap depan, meletakkan telur dibagian bawah permukaan daun sebanyak 50 butir dalam waktu 24 jam; (3) telurnya berbentuk oval, ukuran 0,6-0,3 mm, berwarna hijau kekuningan, berkilau, lembek dan menetas ± 3 hari; (4) larva Plutella berwarna hijau, panjang 8 mm, lebar 1 mm, mengalami 4 instar yang berlangsung selama 12 hari, ngengat kecil berwarna coklat keabu-abuan; (5) ngengat aktif dimalam hari, sedangkan siang hari bersembunyi dibawah dibawah sisa-sisa tanaman, atau hinggap dibawah permukaan daun bawah. Gejala: (1) biasanya menyerang pada musim kemarau; (2) daun berlubang-lubang terdapat bercak-bercak putih seperti jendela yang menerawang dan tinggal urat-urat daunnya saja; (3) umumnya menyerang tanaman muda, tetapi kadang-kadang merusak tanaman yang sedang membentuk bunga. Pengendalian: (1) mekanis: mengumpulkan ulat-ulat dan telurnya, kemudian dihancurkan. (2) Kultur teknik: pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman yang bukan famili Cruciferae; pola tumpang sari brocolli dengan tomat, bawang daun, dan jagung; dengan tanaman perangkap (trap crop) seperti Rape/Brassica campestris ssp. Oleifera Metg. (3) Hayati/biologi: menggunakan musuh alami, yaitu parasitoid (Cotesia plutella Kurdj, Diadegma semiclausum, Diadegma eucerophaga) ataupun predatornya. (4) Sex pheromone : adalah "Ugratas Ungu" dari Taiwan. Bentuk sex pheromone ini seperti benang nilon berwarna ungu sepanjang ± 8 cm. Cara penggunaan : Ugratas ungu dimasukkan botol bekas agua, kemudian dipasang dilahan perkebunan pada posisi lebih tinggi dari tanaman. Daya tahan ugratas terpasang ±3 minggu, dan tiap hektar kebun memerlukan 5-10 buah perangkap.(5) Kimiawi: menyemprotkan insektisida selektif berbahan aktif Baccilus thuringiensis seperti Dipel WP, Bactospeine WP, Florbac FC atau Thuricide HP pada konsentrasi 0,1-0,2%, Agrimec 18 FC, pada konsentrasi 1-2 cc/liter.
·         Ulat croci (Crocidolomia binotalis Zeller)
Ulat croci disebut hileud bocok (sunda). Ciri: (1) siklus hidup 22-32 hari, tergantung suhu udara; (2) ulat berwarna hijau, pada punggung terdapat garis hijau muda dan perut kuning, panjang ulat 18 mm, berkepompong di dalam tanah dan telur diletakkan dibawah daun secara berkelompok berbentuk pipih menyerupai genteng rumah; (3) menyerang tanaman yang sedang membentuk bunga. Pengendalian: sama dengan ulat Prutella, parasitoid yang paling cocok adalah Inareolata sp.
·         Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn)
Ulat tanah disebut ulat taneuh, hileud orok (Sunda) atau uler lettung (Jawa).
Ciri: (1) siklus hidup 6-8 minggu; (2) kupu-kupu ataupun ulatnya aktif pada senja dan malam hari, pada siang hari bersembunyi di bawah daun (kupu-kupu) dan permukaan tanah (ulat). Gejala: memotong titik tumbuh atau pangkal batang tanaman, sehingga tanaman muda rebah dan pada siang hari tampak layu. Pengendalian: (1) mekanis: mencabut ulat-ulat tanah dan membunuhnya; (2) kultur teknis: pembersihan kebun dari rerumputan atau sisa-sisa tanaman yang dijadikan tempat bertelur hama tanah; (3) kimiawi: dengan umpan beracun dan semprotan insektisida.Campuran dari 125-250 gram Dipertex 95 SL, 10 kg dedak, 0,5-1,0 kg gula merah dan 10 liter air untuk tanaman seluas 0,25-0,5 hektar. Umpan tersebut disebarkan disekeliling tanaman pada senja dan malam hari. dapat juga disemprotkan insektisida Dursban 20 EC 1 cc/liter air. Waktu penyemprotan sehabis tanam dan dapat diulang 1-2 kali seminggu.
·         Kutu daun (Aphis brassicae)
Hidup berkelompok dibawah daun atau massa bunga (curd), berwarna hijau diliputi semacam tepung berlilin. Gejala: menyerang tanaman dengan menghisap cairan selnya, sehingga menyebabkan daun menguning dan massa bunga berbintik-bintik tampak kotor. Menyerang hebat dimusim kemarau. Pengendalian: menyemprotkan insektisida ORTHENE 75 SP atau Hostathion 40 EC 1-2 cc/liter air.
·         Ulat daun
Misalnya ulat jengkal (Trichoplusiana sp., Chrysodeixis chalcites Esp., Chrysodeixis orichalcea L.) dan ulat grayuk (Spodoptera sp. S. litura), Ciri: (1) Ulat-ulat jengkal (Trichoplusiana sp.): Cara berjalannya aneh dan melipat dua bila merangkak. Panjang 4 cm, berwarna hijau pucat dan berpita warna muda pada tiap sisi badan. Kupu-kupu ulat jengkal berwarna coklat keabu-abuan dan berbintik-bintik berwarna perak pada setiap sayap depannya, telur berwarna putih kehijau-hijauan diletakkan di bawah daun dan menetas dalam 3-20 hari. (2) Chrysodzeixis chalcites Esp. dan Chrysodeixis orichalcea L.: Berwarna gelap dan terdapat bintik-bintik keemasan berbentuk "Y" pada sayap depan. Telur berukuran kecil berwarna keputih-putihan, diletakkan secara tunggal ataupun berkelompok. Larva berwarna hijau bergaris-garis putih di sisinya dan jalannya menjengkal. (3) Ulat-ulat grayak (S. litura): Ciri khas memiliki bintik-bintik segitiga berwarna hitam dan bergaris kekuning-kuningan pada sisinya dengan siklus hidup 30-61 hari. Kupu-kupunya berwarna agak gelap dengan garis agak putih pada sayap depan. Telurnya berjumlah 25-500 butir diletakkan secara berkelompok di atas tanaman dan ditutup dengan bulu-bulu. Gejala: daun rusak, berlubang-lubang atau kadang kala tinggal urat-urat daunnya saja. Pengendalian: (1) mengatur pola tanam; (2) menjaga kebersihan kebun; (3) penyemprotan insektisida seperti Orthene 75 SP 1 cc/liter air, Hostathion 1-2 cc/liter air, Curacron 500 EC atau Decis 2,5 EC; (4) khusus untuk ulat grayak dapat digunakan sex pheromena (Ugratas Merah); (5) bila terjadi serangan Spodoptera exiqua dapat digunakan Ugratas Biru.
·         Bangsa siput
Bangsa siput yang biasa menyerang antara lain: (1) Achtina fulica Fer., yaitu siput yang mempunyai cangkang atau rumah, dikenal dengan bekicot; (2) Vaginula bleekeri Keferst, yaitu siput yang tidak bercangkang, warna keabu-abuan; (3) Parmarion pupilaris Humb, yaitu siput yang tidak bercangkang berwarna coklat kekuningan. Gejala: menyerang daun terutama saat baru ditanam dikebun. Pengendalian: dengan menyemprotkan racun Helisida atau dengan dikumpulkan lalu dihancurkan dengan garam atau untuk makanan ternak.
·         Cengkerik dan gangsir (Gryllus mitratus dan Brachytrypes portentosus).
Gejala: menyerang daun muda (memotong) pada malam hari; terdapat banyak lubang di dalam tanah. Pengendalian: dengan insektisida atau menangkap dengan menyirami lubang dengan air agar hama keluar.

·         Orong-orong.
Hidup dalam tanah terutama yang lembab dan basah. Bagian yang diserang adalah sistem perakaran tanaman. Gejala: pertumbuhan terhambat dan daun menguning. Pengendalian: pemberian insektisida ke liang.
2.      PENYAKIT UTAMA PADA KUBIS
·         Busuk hitam (Xanthomonas campestris Dows.)
Penyebab: bakteri, dan merupakan patogen tular benih (seed borne), dan dapat dengan mudah menular ketanah atau ke tanaman sehat lainnya. Gejala: (1) tanaman semai rebah (damping off), karena infeksi awal terjadi pada kotiledon, kemudian menjalar keseluruh tanaman secara sistematik; (2) bercak coklat kehitam-hitaman pada daun, batang, tangkai, bunga maupun massa bunga yang diserang; (3) gejala khas daun kuning kecoklat-coklatan berbentuk huruf "V", lalu mengering. Batang atau massa bunga yang terserang menjadi busuk berwarna hitam atau coklat, sehingga kurang layak dipanen. Pengendalian: (1) memberikan perlakuan pada benih seperti telah dijelaskan pada poin pembibitan sub poin penyiapan benih; (2) pembersihan kebun dari tanaman inang alternatif; (3) rotasi tanaman selama ± 3 tahun dengan tanaman tidak sefamili.
·         Busuk lunak (Erwinia carotovora Holland.)
Penyebab: bakteri yang mengakibatkan busuk lunak pada tanaman sewaktu masih di kebun hingga pasca panen dan dalam penyimpanan. Gejala: (1) luka pada pangkal bunga yang hampir siap panen; (2) luka akar tanaman scara mekanis, serangga atau organisme lain; (3) luka saat panen; (4) penanganan atau pengepakan yang kurang baik. Pengendalian: (1) Pra panen: membersihkan sisa-sisa tanaman pada lahan yang akan ditanami; menghindari kerusakan tanaman oleh serangga pengerek atau sewaktu pemeliharaan tanaman; menghindari bertanam kubis-kubisan pada musim hujan di daerah basis penyakit busuk lunak. (2) Pasca panen: menghindari luka mekanis atau gigitan serangga menjelang panen; menyimpan hasil panen dalam keadaan kering, atau kalau dicuci dengan air bersih, harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum disimpan; berhati-hati dalam membawa atau mengangkut hasil panen ketempat penyimpanan untuk mencegah luka atau memar; menyimpan hasil ditempat sejuk dan mempunyai sirkulasi udara baik.
·         Akar bengkak atau akar pekuk (Plasmodiophora brassicae Wor.)
Penyebab: cendawan Plasmodiophora brassicae. Gejala: (1) pada siang hari atau cuaca panas, tanaman tampak, tetapi pada malam atau pagi hari daun tampak segar kembali; (2) pertumbuhan terlambat, tanaman kerdil dan tidak mampu membentuk bunga bahkan dapat mati; (3) akar bengkak dan terjadi bercak-bercak hitam. Pengendalian: (1) memberi perlakuan pada benih seperti poin penyiapan benih; (2) menyemai benih di tempat yang bebas wabah penyakit; (3) melakukan sterilisasi media semai ataupun tanah kebun dengan Besamid-G 40-60 gram/m2 untuk arel pembibitan atau 60 gram/m2untuk kebun; (4) melakukan pengapuran untuk menaikkan pH; (5) mencabut tanaman yang terserang penyakit; (6) pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis yang tidak sefamili
·         Bercak hitam (Alternaria sp.)
Penyebab: cendawan Alternaria brassica dan Alternaria brassicicola. Gejala: (1) bercak-bercak berwarna coklat muda atau tua bergaris konsentris pada daun; (2) menyerang akar, pangkal batang, batang maupun bagian lain. Pengendalian: (1) menanam benih yang sehat; (2) perlakuan benih seperti pada poin penyiapan benih.
·         Busuk lunak berair
Penyebab: cendawan Sclerotinia scelerotiorumI, menyerang batang dan daun terutama pada luka-luka tanaman akibat kerusakan mekanis dan dapat menyebar melalui biji dan spora. Gejala: (1) pertumbuhan terhambat, membusuk lalu mati; (2) bila menyerang batang, maka daun akan menguning, layu dan rontok; (3) bila menyerang daun, maka daun akan membusuk dan berlendir; (4) gejala lain terdapat rumbai-rumbai cendawan yang berwarna putih dan lama-kelamaan menjadi hitam. Pengendalian: (1) gunakan biji sehat dan rotasi tanaman dengan tanaman yang tidak sejenis. (2) pemberantasan dengan insektisida.
·         Semai roboh (dumping off)
Penyebab: cendawan Rhizitonia sp. dan Phytium sp. Gejala: (1) bercak-bercak kebasahan pada pangkal batang atau hipokotil; (2) pangkal batang busuk sehingga menyebabkan batang rebah dan mudah putus; (3) menyerang tanaman di semaian, tetapi dapat pula menyerang tanaman di lahan. Pengendalian: perlakuan benih sebelum ditanam, sterilisasi media semaian dan rotasi tanaman dengan jenis selain kubis-kubisan.
·         Penyakit Fisiologis
Penyebab: Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) disebut penyakit fisiologis. Kekurangan Nitrogen: bunga kecil-kecil seperti kancing atau disebut "Botoning". Kelebihan Nitrogen warna bunga kelabu dan berukuran kecil. Kekurangan Kalium massa bunga tidak kompak (kurang padat) dan ukurannya mengecil. Kelebihan Kalium tumbuh kerdil dan bunganya kecil. Pengendalian: dengan pemupukan yang berimbang.
TEKNIK-TEKNIK PENGENDALIAN PADA TANAMAN KUBIS
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Kegiatan pengendalian hama dan penyakit merupakan faktor terpenting dalam budidaya kubis ramah lingkungan. Hal ini disebabkan tujuan kegiatan ini adalah menghemat penggunaan pestisida dengan bertumpu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Adapun cara pengendalian beberapa hama dan penyakit kubis dengan konsep PHT dapat dilakukan sebagai berikut :
Untuk pengendalian hama ulat krop kubis yang disebabkan (Crocidolomia binotalis Zell)  dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan (memusnahkan) telur, larva atau imago yang ditemukan.  Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan bila ditemukan 3 paket telur pada 10 tanaman dan 5 % tanaman terserang hama tersebut.  Pengendalian kimia cara tersebut dapat menghemat/menekan penggunaan pestisida 7 – 11 kali penyemprotan.  Pemilihan bahan aktif insektisida dilakukan dengan selektif dan yang efektif  diantaranya Bacillus thuringiensis (Turex, Thuricide), sipermetrin (Cymbush), Klorfluazuron (Atabron), lufenuron (Match), Lamda sihalotrin (Matador), Protiofos (Tokuthion) dan lain-lain.  Selain itu dapat juga digunakan pestisida nabati atau biologi dengan dosis anjuran adalah : Bacillus thurigiensis, biji sirsak atau dengan menggunakan biji nimba 30 gr/liter.  
Untuk pengendalian hama ulat kubis Plutella xytostella dapat dilakukan dengan cara  mekanis dan kimia.  Cara mekanis yaitu dengan memusnahkan dan mengumpulkan semua larva imago yang ditemukan, sedangkan cara kimiawi dilakukan dengan penggunaan pestisida selektif bila ditemukan 5 larva setiap 10 tanaman dan 5% dari jumlah tanaman telah terserang hama tersebut.  Dengan melakukan pengamatan, maka akan menghemat penggunaan pestisida 7 – 11 kali penyemprotan dengan dosis 0,5 – 1cc/liter tiap penyemprotan.
Pengendalian penyakit bengkak akar yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae yang ditandai daun-daun kubis layu, bila tanaman tersebut dicabut pada akarnya akan terlihat ada pembengkakkan. Untuk mengendalikannya dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : (1) penggunaan varietas tahan P. brassicae seperti 72754, G6-voloqod shajas, Zimjaja dan Winter., (2) perlakuan benih dengan pestisida nabati berupa ekstrak daun/umbi bawang putih (8%) selama 2 jam, (3) tanah untuk persemaian menggunakan tanah dari luar daerah endemis atau tanah lapisan bawah (min. 40 cm) yang dikukus atau diberi fungisida, (4) melakukan pengapuran dengan dolomit 2 ton/hektar dilakukan 15 hari sebelum tanam, (5) tanah diinokulasi dengan Gliogladium (Bio GL) dosis 11 cc/liter atau Glio kompos 1 kg/4 meter2 sehari sebelum tanam atau Dazomet 30-40 gram/m2 (200-267 gram/ha) 2 minggu sebelum tanam, (6) mencabut tanaman muda yang terserang dan memusnahkannya kemudian (7) memusnahkan segera sisa panen . 
Pengendalian penyakit bercak daun Altenaria dapat dilakukan dengan merendam benih dalam air panas (50oC) selama 15 menit, penggunaan jarak tanam yang agak lebar agar sirkulasi tanaman tidak terganggu, dan terakhir adalah penggunaan fungisida bila tanaman belum membentuk krop dan serangan lebih dari 10%. Dalam pengendalian hama dan penyakit kubis dengan pestisida harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) melakukan penyemprotan setelah ambang kendali untuk masing-masing hama atau penyakit terlewati, (2) pemilihan pestisida yang tepat dan efektif, (3) tidak menggunakan oplosan dari beberapa  bahan aktif pestisida yang berbeda, (4) Melakukan penyemprotan secara bergantian agar hama dan penyakit tidak kebal, (5) tidak mengurangi atau menambah takaran dari dosis yang dianjurkan, (6) waktu dan frekwensi penyemprotan dilakukan secara tepat dimana waktu penyemprotan sebaiknya pagi sekali atau sore dengan frekwensi tidak dirapatkan karena dapat meninggalkan residu pada hasil panen dan hama penyakit menjadi kebal.
PENGENDALIAN GULMA
Pengendalian gulma kubis dapat dilakukan saat tanaman mulai ditumbuhi gulma. Gulma yang ada dicabut sampai akarnya. Pada tanah yang jumlah gulmanya banyak dapat dilakukan dengan pemberian herbisida sebelum tanam. Adapun herbisida yang dapat digunakan antara lain yang berbahan aktif glifosat, parakuat diklorida, oksifluorfen dan lain-lain.











BAB V

KESIMPULAN


 Kubis atau kol ( Brassica aleracea ) adalah sayuran penting yang pada umumnya ditanam didaerah dataran tinggi. Tetapi dapat juga tumbuh di dataran rendah tapi pada umumnya banyak yang diserang hama, penyakit dan gulma.

Kegiatan pengendalian hama dan penyakit merupakan faktor terpenting dalam budidaya kubis yang ramah lingkungan.

Pengendalian gulma kubis dapat dilakukan saat tanaman mulai ditumbuhi gulma. Gulma yang ada dicabut sampai akarnya. Pada tanah yang jumlah gulmanya banyak dapat dilakukan dengan pemberian herbisida sebelum tanam.


































BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suyanto, 1994. Hama sayur dan buah. Seri PHT. Penebar Swadaya Purwokerto.
Semeru Ashari, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.
Untung. K, 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Litbang, 1986.Ringkasan bercocok tanam, tanaman perkebunan dan industri,
buah-buahan dan sayuran.BIPP Timor-Timur.

Nonime.2007.hama pada tanaman kubis.http://one.indoskripsi.com/click/3090/0
Nonime.2002.pengendalian hama, penyakit dan gulma pada tanmann